Monday, February 15, 2010

aku takut kehilangan DIA

- the story that touch my heart -

Aku Ingin Mencintaimu Dengan Sederhana

Selasa, 31-03-2009 15:00:19 oleh: Shanti Yanuarini
Kanal: Sastra

Hari bergerak menuju malam. Namun matahari rupanya enggan untuk bersembunyi. Masih kulihat cahaya berwarna merah di atas langit. Aku duduk bersama mas Baskoro di tempat ini. Sudah lama kami berada di sini, namun tidak banyak yang kami bicarakan. Kami hanya diam dan menikmati kehidupan ini. Entahlah, ketika bersamanya aku tidak hendak mengucapkan kata-kata. Aku tahu apa yang ada dalam diamnya, dan dia tahu apa yang ada dalam diamku.Dalam diam kami saling memahami.

Tiba-tiba aku mendengar mas Baskoro menggumamkan sebuah lagu “Aku Ingin Mencintaimu”. Aku kemudian ikut bernyanyi bersamanya, dalam keheningan senja. “Aku ingin mencintaimu dengan sederhana, dengan isyarat yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu. Aku ingin mencintaimu dengan sederhana, dengan isyarat yang tak sempat diucapkan awan kepada hujan yang menjadikannya tiadalalu kami terdiam lagi.

Mas Baskoro kemudian berkata, “Widya, seperti lirik itu, aku mencintaimu dengan sederhana, tapi cintaku itu tidak menuntut pengorbanan darimu. Jika kau ingin pergi, aku tidak akan menarikmu kembali. Aku membebaskanmu untuk memilih. Kehidupanmu adalah milikmu dan bukan milikku. Aku tidak akan kehilangan kamu. Begitu juga dengan diriku. Walaupun aku mencintaimu, apabila aku pergi, bebaskanlah aku, karena kehidupanku adalah milikku dan kamu tidak boleh merasa menyesal karena kehilangan aku”.

Baru di sore itu aku mendengar Mas Baskoro mengucapkan kata cinta yang pertama kepadaku. Sebelumnya aku tidak pernah mendengar itu dari bibirnya karena kami sama-sama tidak percaya pada cinta, karena menurut kami, seringkali kata cinta itu mengikat, sangat mengikat hubungan antara kami dan kami tidaklah ingin saling mengikat. Mas Baskoro kemudian mengajakku pulang.

Sudah lama aku berkenalan dengan Mas Baskoro. Kami berkenalan sewaktu dia menjadi masih bersekolah di seminari. Orangnya memang pendiam, tapi aku mengetahui bahwa hatinya terisi dengan banyak hal. Dia bukanlah orang yang mudah bergejolak, dia berbicara dalam diamnya. Pemikiran Mas Baskoro terasa sangat dalam. Menurutnya kehidupan yang dijalani manusia bukanlah kehidupan yang tanpa makna, dan manusia harus senantiasa mencari apa makna hidupnya. Menurutnya, manusia jangan hanya terpaku pada apa yang ada di hadapannya, carilah lebih ke dalam, ke inti dari setiap kehidupan. Manunggaling kawula Gusti. Seperti Bima yang mencari kesejatiannya Begitu katanya.

Berkenalan dengan Mas Baskoro membuat hidupku tidak lagi sama. Mas Baskoro jugabukanlah seorang pujangga cinta, yang mampu mengobral kata-kata pujian yang menghujam hati wanita seperti umumnya laki-laki. Dia juga pandai menyimpan emosinya, sehingga kehidupannya terasa datar sekali. Walau kami telah dekat, namun kami jarang bertemu atau berkomunikasi. Kami tidak pernah mengatur jadwal pertemuan kami, terkadang hanya seminggu sekali, atau bahkan dua minggu sekali. Namun dalam pertemuan itu kami tidak banyak bercerita, kami lebih banyak terdiam. Antara kami berdua tidak ada ikatan yang pasti. Namun dalam hati kami saling mengetahui bahwa kami telah dekat satu sama lain.

Hari ini aku ke rumahnya, kata ibunya dia pergi, entah kemana dan untuk berapa lama. Karena tidak ada ikatan yang jelas itulah maka Mas Baskoro tidak pernah merasa berkewajiban untuk memberitahukan ke mana perginya dan untuk berapa lama. Dia bebas, sebebas burung merpati. Ibunya sudah memahami sifatnya itu. Itulah sebabnya ibunya tidak tahu kemana perginya dan untuk berapa lama. Ibunya tidak pernah bertanya. Dan ibunya tidak pernah merasa khawatir karena dia percaya pada anaknya. Akupun pulang.

Sampai seminggu tidak ada kabar darinya. Aku tentu merasa khawatir. Aku mulai kehilangan dia, tapi aku berusaha menekan perasaanku. Seperti katanya, hidupku tidak boleh kacau hanya karena aku kehilangannya. Aku harus mampu bertahan. Aku akan menemukan simponi yang baru apabila aku sanggup melepas kepergiannya. Aku harus mampu bertahan.

Esoknya Mas Baskoro datang. Wajahnya tampak segar. Aku tidak ingin menanyakan perihal kepergiannya, biarlah dia sendiri yang bercerita kepadaku, walaupun kecil kemungkinan dia akan bercerita kepadaku. Dia mengajakku ke tempat kami biasa bertemu. Seperti biasa, dia tidak banyak bercerita. Tapi kemudian dia mulai berbicara.

“Widya, sudah berapa lamakah kita saling mengenal?” tanyanya

“Tiga tahun mas” jawabku.

“Dan sudah berapa lama kita menjadi dekat?” lanjutnya.

“Entahlah Mas, aku tidak tahu.”

“Widya, apakah kau tidak ingin bertanya ke mana diriku selama seminggu ini?”

Dalam hati aku ingin bertanya, tapi aku tidak berani. Aku hanya ingin dia yang memulai ceritanya.

“Wid, dalam kepergianku itu aku berusaha untuk mengenal diriku lagi, aku berusaha untuk mengevaluasi diriku. Aku merasa butuh waktu sejenak untuk berpikir tentang kehidupanku selama dua tahun ini. Selama ini kita sering bersama, dalam perenunganku aku merasa kau banyak menyita kehidupanku. Walau aku mengatakan bahwa kita adalah individu yang bebas, namun nyatanya aku takut untuk kehilangan kebersamaan ini, aku takut pada diriku yang mulai terlekat kepadamu. Aku terlalu terbiasa bersamamu Widya,” kata Mas Baskoro.

Aku tidak tahu apakah ini hal yang baik atau hal yang buruk buatku. Aku masih berusaha mencerna kata-katanya. Lalu aku bertanya “Lalu apakah yang kau ingin aku lakukan mas, apakah aku harus pergi?”

“Tidak, kau jangan pergi, masa depanmu masih panjang Widya, tapi akulah yang akan pergi. Aku ingin meyakinkan diriku bahwa aku bisa hidup tanpamu” katanya.

“Bukankah selama 2 minggu ini kau sudah melakukannya?” tanyaku dalam hati.

Mendengar kata Mas Baskoro membuat aku tidak bisa berkata-kata lagi. Aku juga menyadari bahwa aku terlanjur terlekat kepadanya. Walau kami berusaha untuk tidak saling mengikat, namun nampaknya ikatan itu telah terbentuk sendiri. Dan ikatan itulah yang rupanya membelenggu Mas Baskoro. Akupun telah terbelenggu pada ikatan itu, tapi aku tidak berkeberatan, aku merasakan belenggu yang indah. Dan nampaknya ikatan itulah yang menurut Mas Baskoro harus diputuskan.

“Bukan karena aku tidak menyayangimu Wid, tapi justru aku terlalu menyayangimu itulah maka aku memutuskan hal ini. Aku tidak ingin terbelenggu pada perasaanku Wid dan aku juga tidak ingin kau terbelenggu pada perasaanmu.”

“Tapi aku tidak keberatan pada belenggu itu Mas, selama kita mampu berbahagia, kenapa kita berusaha mengingkari kebahagiaan itu?” kataku

“Widya, aku telah belajar bahwa belenggu itu pada akhirnya akan menyiksa kita, seperti saat ini, nampaknya belenggu itu telah mengikat kita begitu erat Wid, sehingga aku dan kau takut untuk kehilangan. Kita harus sadar bahwa tidak selamanya kita akan bersama, kita tahu bahwa pada akhirnya nanti kita akan mengalami perpisahan. Kapanpun itu terjadi kita harus siap. Mungkin inilah saat kita untuk berpisah, kita harus siap menerima keadaan ini Wid.”

“Mengapa harus sekarang mas? Apakah Mas Baskoro dibelenggu perasaan bersalah karena mencintai seorang wanita? Apakah ini karena Mas harus kembali menjadi Imam?”

“Kita berdua tahu kalau itu bukan penyebabnya Wid”

Keadaan menjadi senyap. Kami sama-sama merenung “Ayo kita pulang Wid”

Mas Baskoro mengantarku sampai ke halaman depan rumahku. Lalu dia berpaling dariku. Kepergiannya terasa menyesakkan hatiku. Aku merasa ini adalah pertautan hati kami yang terakhir. Hatiku bergejolak, aku ingin menangis, tapi aku tidak bisa. Aku memang terlalu takut untuk kehilangan dia. Nampaknya sekarang aku harus menyadarkan diriku bahwa memang kami tidak dapat bersama.

Aku menanyakan kepada Tuhan, apa salahku sehingga Mas Baskoro harus pergi dariku. Apakah aku bersalah karena dekat dengan orang yang telah dipilih Tuhan untuk menjadi pemimpin umatNya? Apakah benar bahwa manusia diciptakan Tuhan berpasang-pasangan? Kalau memang benar, mengapa mereka harus selibat, mengapa mereka tidak boleh memilih untuk berdua. Kenapa mereka harus menahan perasaan mereka? Apakah Tuhan begitu kejam karena menciptakan sebagian manusia untuk berpasang-pasangan, namun bagi yang menjadi imam harus menahan perasaannya agar tidak mencari pasangan yang sepadan baginya. Mengapa penciptaan itu terasa tidak adil? Lama aku mencari jawabannya, namun nampaknya tidak ada yang mampu menjawabnya.

Aku melamun di dalam kamarku. Kunyalakan radioku agar aku tidak merasa sepi. Lamat-lamat terdengar suara di radio sedang menyanyikan lagu kami. Lagu “Aku ingin Mencintaimu.” Kuresapi setiap lirik dalam lagu itu “Aku ingin mencintaimu dengan sederhana, dengan isyarat yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu, aku ingin mencintaimu dengan sederhana, dengan isyarat yang tak sempat, diucapkan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada.”

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana. Biarlah aku menjadi abu, terbakar dalam panasnya api jika bisa membuat api itu menyala. Aku akan mencintai dengan sederhana, biarlah aku menjadi awan yang tiada, jika memang hujan harus membasahi bumi. Biarlah aku menjadi tiada baginya jika itu dapat membuatnya bahagia.

Mei 2007

No comments:

Post a Comment